Sabtu, 10 Juli 2010

artikel populer

BENARKAH

AKSARA INDONESIA TELAH TERGANTI DENGAN AKSARA HANGEUL?

Afiyah Nur Kayati

Keanekaragaman bahasa merupakan salah satu ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Ratusan bahasa daerah tersebut tersebar di pelbagai pulau di Indonesia. Keberadaan bahasa daerah sangatlah penting dalam memperkaya budaya dan bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa daerah itu ada yang didukung oleh wilayah sebar yang luas dan jumlah penutur yang relatif banyak, namun sebaliknya masih ada beberapa daerah yang bahasanya digunakan oleh jumlah penutur yang sedikit dan wilayah sebar yang sempit. Itulah yang menunjukkan bahwa bahasa daerah hanya hidup dan berkembang di daerah masyarakat penuturnya saja. Salah satu bahasa daerah yang dituturkan oleh penutur yang relatif sedikit itu adalah bahasa Cia-Cia, bahasa daerah Bau-Bau di pulau Buton.

Bahasa Cia-Cia merupakan cerminan bahasa daerah yang keberadaannya kurang disadari oleh pemerintah Indonesia terutama pemerintah daerah itu. Bahasa ini adalah salah satu bahasa daerah yang tidak memiliki aksara resmi yang bisa digunakan untuk mentransliterasikan bahasa itu ke dalam sebuah tulisan. Berbeda dengan bahasa daerah yang memiliki wilayah sebar dan jumlah penutur yang banyak, misalnya bahasa Jawa yang sudah memiliki aksara (ha, na, ca, ra, ka) untuk untuk menuliskan bahasa itu ke dalam sebuah tulisan. Dengan tidak adanya aksara yang bisa digunakan untuk menuliskan bahasa Cia-Ci, kemungkinan besar bahasa ini akan punah dan hanya menjadi sejarah saja. Hal itu pun tetap tidak menggugah para anggota Senayan atau pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada para penutur bahasa Cia-Cia untuk menggunakan aksara Indonesia sebagai aksara bahasa mereka. Padahal sudah jelas bahwa masyarakat Bau-Bau adalah bagian dari bangsa Indonesia yang berhak menggunakan aksara Indonesia sebagai aksara bahasa mereka.

Kekurangsensitifan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan bahasa daerah Cia-Cia dimanfaatkan oleh para peneliti bahasa asal Korea untuk menyebarkan aksara hangeul ke daerah Bau-Bau. Sedikit demi sedikit peneliti bahasa yang bernaung dalam lembaga riset Hunminjeongum ini memasukkan aksara hangeul beserta kebudayaan Korea ke dalam budaya dan bahasa daerah Cia-Cia. Sampai akhirnya terjadi kesepakatan antara pemerintah Kota Bau-Bau dengan pemerintah Korea untuk menggunakan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia. Penetapan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia ini pun telah dilaksanakan pada bulan Juli 2008 bertepatan dengan ritual Mataa di Kelurahan Gonda Baru, Kecamatan Sorawolio.

Lembaga riset Hunminjeongum dan pemerintah Korea pun tidak cuma-cuma mengizinkan aksara hangeul dijadikan aksara resmi bahasa Cia-Cia. Mereka memiliki alasan tersendiri di balik itu semua. Alasan yang paling utama adalah pemerintah Korea ingin menglobalisasikan aksara hangeul ke negara-negara lain di luar Korea. Pemerintah Korea pun berupaya untuk menjadikan bahasa Korea sebagai bahasa kedua yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negara Korea. Dengan dipakainya aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia, menjadikan bahasa Korea ini sebagai alat komunikasi resmi pertama di luar negara Korea sendiri. Alasan keduanya adalah para peneliti dari lembaga riset Hunminjeongum khawatir jika bahasa suku Cia-Cia yang memiliki jumlah penduduk 60.000 jiwa itu terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat. Dengan ini Korea menunjukkan bahwa aksara hangeul bisa menjadi sistem penulisan yang tepat untuk mencatat bahasa dan melestarikan budaya kelompok etnik lain yang belum atau tidak memiliki sistem penulisan sendiri. Tidak hanya itu saja, Korea juga ingin menunjukkan bahwa hangeul bisa menjadi bahasa internasional layaknya bahasa internasional lain.

Alasan lain yang melatarbelakangi sikap Korea yang baik itu adalah orang Korea tertarik dengan aneka bahasa di pulau Buton, salah satunya bahasa Cia-Cia, yang belum mempunyai aksara dan pulau Buton menyimpan banyak bahasa. Menurut peneliti bahasa asal Korea sebenarnya suku Cia-Cia bisa berbahasa dalam bahasa Indonesia tetapi mereka buta huruf sehingga tidak bisa baca tulis. Oleh karena itu, lembaga riset Hunminjeongum memberikan bimbingan kepada suku Cia-Cia untuk belajar aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa tulis mereka. Tidak tanggung-tanggung lembaga riset ini pun telah menerbitkan sebuah buku yang dapat menunjang pembelajaran aksara hangeul itu. Sejarah dan budaya suku Cia-Cia semuanya tercantum dalam buku itu. Bahkan, buku ini pun telah diterbitkan ke dalam sepuluh bahasa di antaranya Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan Bahasa Indonesia. Untuk lebih mensukseskan proyek ini lembaga riset Hunminjeongum dan pemerintah Bau-Bau memasukkan pelajaran aksara hangeul menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah di Bau-Bau.

Tidak jauh beda dengan pemerintah Korea, pemerintah Bau-Bau pun mempunyai alasan tersendiri dalam menerima aksara hangeul sebagai aksara resmi mereka. Alasan mendalam yang melatarbelakangi penerimaan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia adalah arti kata Korea dalam bahasa Cia-Cia yang bermakna darah. Sedangkan Korea dalam Hangeul berarti orang yang berjasa. Dari sini bisa dikaitkan antara darah dengan semangat perjuangan sehingga melahirkan jasa dan pejuang. Menurut Walikota Bau-Bau, Negara Korea beberapa waktu yang lalu mempunyai kehidupan yang sama dengan bangsa Indonesia. Namun, Korea telah maju pesat dan meninggalkan Indonesia dalam keterpurukan. Dengan menggunakan aksara Korea, suku Cia-Cia berharap bisa menyontoh Korea sehingga bisa mempunyai kehidupan yang lebih baik layaknya Korea.

Selain alasan pertautan kata itu, masih ada alasan lain yang melatarbelakangi penerimaan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia. Alasan-alasan itu di antaranya yaitu orang Korea sangat proaktif dalam memperkenalkan aksara hangeul kepada suku Cia-Cia. Terlebih lagi lembaga riset Hunminjeongum tetap mengajarkan bahasa Cia-Cia tetapi menggunakan aksara hangeul. Tidak hanya itu, keunggulan akasara hangeul yang telah diakui oleh masyarakat internasional dan telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya internasional inilah yang menjadikan suku Cia-Cia mau menggunakan aksara hangeul sebagai sarana untuk menuliskan bahasa mereka. Bahkan aksara hangeul ini telah mengalahkan kedudukan aksara atau huruf Indonesia sendiri dalam jiwa bangsanya sendiri.

Penggunaan aksara hangeul ini telah meluas ke seluruh sendi-sendi kegiatan masyarakat. Aksara hangeul ini selain digunakan sebagai sarana tulis menulis bahasa Cia-Cia dalam kegiatan komunikasi antarmasyarakat, melainkan juga digunakan sebagai sarana dalam penulisan nama jalan di sepanjang kota Bau-Bau.

Gambar papan jalan yang ditulis dengan aksara hangeul

Begitu besarkah pengaruh aksara hangeul terhadap bahasa Cia-Cia yang mengalahkan bahasa nasional Indonesia di wilayah nusantara Indonesia. Inilah hal kecil yang harus menjadi perhatian para pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahkan ini juga harus menjadi perhatian bagi bangsa Indonesia seluruhnya.

artikel

PENGGUNAAN AKSARA HANGEUL

SEBAGAI AKSARA RESMI DALAM

BAHASA CIA-CIA

AFIYAH NUR KAYATI

082074225

PNA-2008

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

MEI 2010

PENGGUNAAN AKSARA HANGEUL

SEBAGAI AKSARA RESMI DALAM BAHASA CIA-CIA

Afiyah Nur Kayati

Abstrak

Pembahasan ini mencoba mengulas secara mendalam tentang penggunaan aksara Hangeul dalam bahasa Cia-Cia. Bahasa Cia-Cia yang termasuk bahasa Austronesia ini digunakan suku Cia-Cia sebagai alat komunikasi utama dan sebagai bahasa dalam pelbagai kegiatan. Bahasa yang dulu belum mempunyai aksara sendiri ini menarik perhatian para peneliti bahasa dari Korea. Sampai akhirnya, lembaga Hunminjeongum mengajarkan aksara Hangeul dalam bahasa Cia-Cia. Pemerintah Korea melakukan hal itu karena ingin menglobalisasikan aksara Hangeul ke luar negara Korea dan ingin menjadikan bahasa Korea sebagai bahasa ke dua yang diajarkan di sekolah-sekolah di dunia. Sementara pemerintah kota Bau-Bau mau menerima aksara Hangeul karena mereka menganggap Korea proaktif dalam memperkenalkan budayanya. Penggunaan aksara Hangeul dalam bahasa Cia-Cia juga digunakan untuk menuliskan nama jalan di kota Bau-Bau. Selain itu aksara Hangeul digunakan sebagai sarana penulisan buku-buku dan puisi-puisi suku Cia-Cia.

Kata kunci : penggunaan, aksara Hangeul, aksara resmi, bahasa Cia-Cia

PENDAHULUAN

Keanekaragaman bahasa merupakan salah satu ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Ratusan bahasa daerah tersebut tersebar di pelbagai pulau di Indonesia. “Di antara ratusan bahasa daerah itu ada yang didukung oleh jumlah penutur yang banyak dan wilayah sebar yang luas, ada pula yang didukung oleh sejumlah kecil penutur dan tersebar di lingkungan yang terbatas pula” (Sudhiarta, 1994:1). Bahasa daerah Jawa, Sunda, Bali, misalnya, termasuk bahasa daerah besar karena banyaknya penutur dan wilayah sebar serta tradisi tulis menulis yang kuat. Berbeda halnya dengan sejumlah besar bahasa daerah di pelbagai wilayah nusantara lainnya, seperti bahasa-bahasa di Irian Jaya, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Bahasa-bahasa di daerah tersebut termasuk bahasa daerah kecil karena wilayah sebarnya yang kecil dan sedikitnya jumlah penutur, selain itu tradisi tulis menulis tidak dimiliki oleh sebagian besar bahasa-bahasa itu.

Keadaan seperti itu menunjukkan bahwa bahasa daerah hanya hidup dan berkembang di masyarakat pemakainya saja. Keberadaan bahasa-bahasa daerah yang tergolong kecil itu, diharapkan tetap memiliki kekuatan hidup, baik untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan bahasa nasional, maupun demi keberadaannya sendiri di tengah penyebaran dan penguasaan bahasa nasional Indonesia dan bahasa-bahasa asing yang penggunaannya semakin dituntut pada zaman globalisasi ini. Sama halnya dengan bahasa Cia-Cia yang digunakan di daerah kecil di pulau Buton dengan masyarakat penutur yang relatif sedikit pula. Pada zaman globalisasi ini keberadaan bahasa Cia-Cia hampir mengalami kepunahan. Ditambah lagi dengan tidak adanya aksara dalam bahasa Cia-Cia. Kondisi ini semakin menjadikan bahasa Cia-Cia sebagai bahasa minoritas. Oleh karena itu, salah satu penyebar aksara Hangeul Korea mengajarkan aksara tersebut dalam bahasa Cia-Cia. Sehingga aksara Hangeul dijadikan aksara dalam menulis bahasa Cia-Cia.

Masalah yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah (1) bagaimanakah bahasa Cia-Cia berkembang dalam masyarakat suku Cia-Cia? (2) bagaimanakah asal mula aksara Hangeul digunakan sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia? (3) bagaimanakah penulisan bahasa Cia-Cia dalam aksara Hangeul?

Pembahasan mengenai penulisan bahasa Cia-Cia dalam aksara Hangeul ini diharapkan dapat memberikan ulasan mengenai penulisan bahasa Cia-Cia dalam aksara Hangeul. Selain itu, pembahasan ini diharapkan dapat mendorong pelestarian dan pembinaan bahasa daerah, terutama penulisan bahasa daerah dalam aksara atau abjad bahasa Indonesia. Pembinaan dan pelestarian tersebut perlu sekali dilakukan karena bahasa daerah merupakan ungkapan budaya masyarakatnya yang mendukung kebinekaan budaya sebagai unsur kreativitas dan sumber kekuatan bangsa.

Penelitian Konisi (2001) terhadap kategori bahasa Cia Liwungau, menjelaskan bahwa bahasa Cia Liwungau memiliki kategori atau kelas kata yang sama dengan kelas kata dalam bahasa Indonesia. Kelas kata tersebut adalah kata kerja, kata benda, kata bilangan, kata sifat, dan kata tugas. Kelas kata-kelas kata tersebut juga memiliki fungsi yang sama dengan kelas kata dalam bahasa Indonesia, misalnya, kata kerja yang menduduki fungsi predikat dan inti predikat.

Untuk mendapatkan pembahasan yang menyeluruh tentang bahasa Cia-Cia terutama dalam hal penggunaan aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahsa Cia-Cia diperlukan ulasan yang menyeluruh. Pembahasan mengenai aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia perlu dilakukan secara sistematis dan memberikan ulasan secara menyeluruh dan mendalam.

PERKEMBANGAN BAHASA CIA-CIA DALAM KALANGAN ETNIS CIA-CIA

Bahasa Cia-Cia merupakan salah satu bahasa yang tersebar di enam kecamatan di daerah Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Penyebaran bahasa Cia-Cia di enam daerah tersebut meliputi Kecamatan Pasarwajo, Kecamatan Sampolawa, Kecamatan Batauga, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Lasalimu, dan Kecamatan Binongko. Di Kecamatan Sorawolio inilah etnis Cia-Cia tinggal. Etnis ini sejak dulu telah menjadi bagian dari Kesultanan Buton (http:// timurangin.blogspot.com/2009/09/etnis-cia-cia-yang-bersahaja- ekspedisi.html).

Orang Cia-Cia memiliki bahasa sendiri yang menjadi medium komunikasi mereka sehari-hari meskipun mereka tetap hidup membaur dengan warga lainnya di Buton. Bahasa Cia-Cia termasuk bahasa yang cukup sering digunakan di Kabupaten Buton. “Bahasa Cia-Cia termasuk bahasa Austronesia” (http://www.idrap.or.id/id/ethno_ciacia.htm). Menurut Kern (dalam Kridalaksana, 1991:75) tanah asal rumpun bahasa Austronesia adalah di tenggara daratan Asia, atau di Indonesia Barat, serta di bagian utara yang terletak di Cina Selatan dengan batas paling utara garis balik utara. Kern juga menunjukkan kenyataan bahwa banyak di antara bahasa-bahasa ini memiliki arti selatan, yang pada awalnya berarti daerah selat (Kridalaksana, 1991:75). Hal ini menunjukkan bahwa tanah asal bahasa Austronesia itu terdapat di utara Selat Malaka, atau mungkin di daerah Kalimantan. Bahasa Austronesia ini pun bisa berasal dari daerah pantai dan daerah pedalaman. Menurut Kridalaksana (1991:83) bahwa sejarah perpindahan para penutur bahasa Austronesia masih rumit karena tidak hanya terdapat satu perpindahan saja melainkan terjadi secara bergelombang, besar kecil, dan hilir mudik.

Ketidakjelasan asal bahasa Austronesia ini semakin memperkuat kemungkinan bahwa bahasa Cia-Cia termasuk rumpun bahasa Austronesia. Etnis Cia-Cia yang mendalami daerah pedalaman Buton pun bisa menjadi daerah penyebaran atau persinggahan bahasa Austronesia. Meskipun bahasa Cia-Cia hanya digunakan oleh etnis Cia-Cia saja.

“Bahasa Cia-Cia dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah sejajar dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia dan mempunyai fungsi serta peranan yang cukup besar di kalangan masyarakat pendukungnya” (Konisi, 2001:1). Selain dipergunakan sebagai alat komunikasi utama dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Cia-Cia juga digunakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti upacara adat, kegiatan kebudayaan, dan keagamaan, bahkan digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas-kelas permulaan sekolah dasar. Tidak hanya itu bahasa Cia-Cia juga telah dimasukkan dalam kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran muatan lokal dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah atas.

Sama halnya sengan bahasa Indonesia, bahasa Cia-Cia juga memiliki lima kategori atau kelas kata yaitu kata kerja, kata benda, kata sifat, kata bilangan, dan kata depan. Kata kerja dalam bahasa Cia-Cia menduduki fungsi predikat dan inti predikat. Kata benda menduduki fungsi subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Kata sifat menduduki fungsi predikat dan frasa nonverbal. Kata bilangan menduduki fungsi predikat dan frasa verbal. Kata tugas menduduki fungsi pembentuk frasa preposisional. Sedangkan struktur fonologi bahasa Cia-Cia dapat dibedakan atas dua wilayah pemakaian, yaitu wilayah pesisir dan wilayah pedalaman.

Namun, fungsi dan peranan yang cukup besar di kalangan masyarakat penuturnya tidak dibarengi dengan penulisan bahasa Cia-Cia dengan salah satu aksara. Hal ini dikarenakan etnis Cia-Cia belum mempunyai aksara yang bisa digunakan untuk mentransliterasikan bahasa mereka ke dalam tulisan. Berbeda dengan bahasa-bahasa daerah lain, seperti bahasa daerah Jawa yang mempunyai aksara Jawa Kuna (aksara ha, na, ca, ra, ka) yang dapat digunakan sebagai media untuk mentransliterasikan bahasa tersebut ke dalam tulisan.

Meskipun bahasa Cia-Cia belum mempunyai aksara sendiri dan mereka dianggap buta huruf, tetapi masyarakat penutur bahasa Cia-Cia tetap mempertahankan keaslian budaya mereka beserta bahasa khas mereka. Bahkan, penutur bahasa ini sering dianggap sebagai masyarakat yang sulit beradaptasi dengan masyarakat di sekitarnya. Etnis Cia-Cia tidak ingin budaya baru itu akan merusak budaya, bahasa, dan agama (Islam) yang mereka yakini.

ASAL MULA PENGGUNAAN AKSARA HANGEUL SEBAGAI AKSARA RESMI BAHASA CIA-CIA

Ketiadaan aksara itu membuat salah satu organisasi ilmiah lokal Korea menerapkan aksara Hangeul sebagai aksara salah satu suku minoritas di Indonesia, yaitu suku Cia-Cia. Lembaga riset Hunminjeongum dan kelompok masyarakat ilmiah Korea mengusulkan aksara Hangeul sebagai sistem penulisan untuk mencatat bahasa suku pribumi di daerah Bau-Bau ini. Pada bulan Juli 2008, lembaga riset Hunminjeongum menandatangani nota kesepahaman dengan suku Cia-Cia untuk menggunakan Hangeul sebagai alat komunikasi resmi mereka. “Peresmiannya dilaksanakan bertepatan dengan ritual Mataa di Kelurahan Gonda Baru, Kecamatan Sorawolio” (htt://triyanifajriutami.wordpress.com/2009/08/08/ hangeul-masuk-indonesia/). Bahkan lembaga riset Hunminjeongum telah menerbitkan buku pelajaran untuk suku Cia-Cia sebagai sarana belajar bahasa Korea. Buku ini telah ditulis ke dalam sepuluh bahasa, di antaranya bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan bahasa Indonesia. Sejarah dan budaya suku yang sebelumnya tidak pernah mempunyai bahasa tulis itu semuanya tercantum dalam buku tersebut. Untuk menyukseskan komitmen tersebut, maka penulisan bahasa Cia-Cia dengan aksara Hangeul dijadikan sebagai salah satu pelajaran muatan lokal di tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Bahkan proyek pengenalan aksara Hangeul sebagai aksara resmi untuk menuliskan bahasa Cia-Cia ini telah dilakukan oleh 140 SMA di Bau-Bau. Pengajaran ini mulai dilakukan pada tanggal 21 Juli 2009. Pelajaran penulisan bahasa Cia-Cia dalam aksara Hangeul ini dilakukan selama empat jam per minggu. Pembelajaran bahasa tulis suku Cia-Cia tersebut dianggap sebagai kasus bersejarah bagi bangsa Korea.

Lembaga riset Hunminjeongeum dan kelompok masyarakat ilmiah Korea menjadikan aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia dengan beberapa alasan. Alasan pertama adalah terdapat sebuah perkembangan yang signifikan dalam upaya untuk menglobalisasikan sistem huruf bahasa Korea, Hangeul (http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_issue_detail.htm?No=16214). Pemakaian aksara Korea sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia merupakan salah satu upaya penglobalisasian aksara Hangeul. Pemerintah Korea pun berupaya untuk menjadikan bahasa Korea sebagai bahasa kedua yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negara Korea. Dengan dipakainya aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia, menjadikan bahasa Korea ini sebagai alat resmi komunikasi petama di luar negara Korea sendiri.

Alasan ke dua adalah para peneliti dari lembaga riset Hunminjeongum khawatir jika bahasa suku Cia-Cia yang memiliki jumlah penduduk 60.000 jiwa itu terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat (http:// world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_issue_detail.htm?No=16214). Dengan ini bangsa Korea bisa menunjukkan pada dunia bahwa bahasa Korea bisa menjadi bahasa internasional. Selain itu Korea ingin menunjukkan bahwa Hangeul bisa menjadi sistem penulisan yang tepat untuk mencatat bahasa dan melestarikan budaya kelompok etnik lain yang belum atau tidak memiliki sistem penulisan sendiri. “Para pakar mengatakan bahwa sebuah bahasa akan bisa punah dalam waktu kurang dari satu abad jika mereka tidak memiliki sistem penulisan” (http:// world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_issue_detail.htm?No=16214). Dengan demikian, hal itu adalah peluang baik bagi Hangeul yang memiliki kemampuan kombinasi huruf yang canggih, untuk semakin meningkatkan penerapan tulisan Hangeul sebagai alat penulisan di dunia. Alasan ke tiga adalah pemerintah Korea berharap penglobalisasian aksara Hangeul bisa berjalan lebih sistematis (http:// world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_issue_detail.htm?No=16214). Penggunaan aksara Hangeul sebagai aksara resmi suku Cia-Cia di Indonesia menyajikan momentum baru bagi bangsa Korea dan menjadikan mereka sadar akan nilai Hangeul yang sebenarnya.

Alasan ke empat yang diutarakan oleh Prof. Le Ho Yung bahwa orang Korea tertarik dengan aneka bahasa di pulau Buton, salah satunya bahasa Cia-Cia, yang belum mempunyai aksara dan pulau Buton menyimpan banyak bahasa (http: //www.radarbuton.com/index.php?act=news&nid=33251). Menurut profesor dari Seoul National University ini, suku Cia-Cia, sebenarnya bisa berbahasa dalam Bahasa Indonesia, namun mereka buta huruf sehingga tidak bisa menulis. Lee pun mengajarkan aksara Hangeul kepada anggota suku Cia-Cia sejak 21 Juli 2009. Tujuannya agar suku Cia-Cia tersebut dapat memelihara bahasa aslinya walaupun menuliskannya dengan aksara Korea. Tujuan Lee pun tetap sama yaitu ingin menyebarkan aksara Hangeul ke luar Korea. Penyebaran aksara Hangeul ini sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu untuk membantu suku-suku minoritas di Asia yang belum mempunyai aksara (http://radarbuton.com/index.php?act= news&nid=33251). Dengan mengajarkan aksara Hangeul, Korea dapat memperkenalkan kebudayaannya pada suku Cia-Cia. Melalui aksara itu, secara kultural, kebudayaan Korea menjadi kebudayaan dunia dan diapresiasi oleh pelbagai bangsa, tidak hanya bangsa Korea sendiri. Kebudayaan adalah pintu masuk atau jendela untuk memulai aktivitas ekonomi, yang nantinya akan menjadikan Korea sebagai pusat keunggulan dunia.

Sama halnya dengan pemerintah Korea, pemerintah dan masyarakat suku Cia-Cia sendiri juga mempunyai alasan tersendiri dalam menerima aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia. Menurut Walikota Bau-Bau, Amirul Tamim, alasan pemerintah Bau-Bau menerima aksara Hangeul karena orang Korea proaktif dalam memperkenalkan kebudayaannya (http://timur angin.blogspot.com/2009/09/etnis-cia-cia-yang-besahaja-ekspedisi.html). Terlebih lagi yang diajarkan adalah tetap bahasa Cia-Cia, namun dengan aksara Korea. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh orang Korea adalah hal yang revolusioner. Selain itu, orang Cia-Cia berkeinginan untuk memperbaiki posisi mereka di masyarakat. Salah satu upaya unuk memperbaiki posisinya di masyarakat adalah dengan mempelajari bahasa asing (http://www .idrap.or.id/id/ethno_ciacia.htm). Hal ini menunjukkan bahwa suku Cia-Cia sangat menghargai ilmu pengetahuan baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Penekanan terhadap pendidikan ini telah membuat seni sastra mereka berkembang. Apalagi setelah masuk aksara Hangeul ke suku Cia-Cia mereka lebih produktif dalam menghasilkan tulisan buku-buku dan puisi-puisi panjang yang telah menjadi bagian dari budaya Cia-Cia.

Alasan ke tiga penerimaan aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia adalah keunggulan Hangeul yang telah diakui oleh masyarakat internasional. “Pada tahun 1997, UNESCO menetapkan Hangeul sebagai harta warisan catatan internasional dan Universitas Oxford Inggris sempat menempatkan Hangeul sebagai sistem penulisan paling unggul di dunia” (http://world.Kbs.co.kr/indonesian/news/newsissuedetail.htm?No=16214). Aksara Korea, Hangeul bisa dimasukkan ke komputer tujuh kali lebih cepat daripada aksara bahasa Cina atau Jepang, dan juga diakui dalam segi keindahan disain kaligrafinya.

Alasan yang paling mendasar bagi suku Cia-Cia adalah arti kata Korea dalam bahasa Cia-Cia yang bermakna darah. Sedangkan Korea dalam Hangeul berarti orang yang berjasa. Dari sini bisa dikaitkan antara darah dengan semangat perjuangan sehingga melahirkan jasa dan pejuang. Beberapa puluh tahun yang lalu negara Korea hampir sejajar dengan Indonesia. Namun, dalam waktu yang cukup cepat Korea berkembang menjadi negara maju di Asia dan bergerak meninggalkan Indonesia. Menurut Walikota Bau-Bau, pemerintah kota Bau-Bau ingin menjadi sister city dengan salah satu kota di Korea dan ingin menjalin satu kerjasama yang kuat (http://www.Kabarindonesia.com/berita.php?pil=1&jd =Liputan+Khusus+Yonhap+News+Agency+dan+KBS+Korea&dn=20090912103659).

PENGGUNAAN AKSARA HANGEUL DALAM BAHASA CIA-CIA

Penggunaan aksara Hangeul dalam bahasa Cia-Cia sendiri disesuaikan dengan kata-kata dalam bahasa Cia-Cia. Aksara Hangeul sendiri diperkenalkan oleh King Sejong (raja di masa kerajaan Sejeon) pada abad ke-4 untuk menggantikan karakter aksara Cina di Korea. Huruf Hangeul ini memiliki 24 karakter. Aksara Hangeul digunakan sebagai sarana dalam penulisan buku-buku dan puisi-puisi suku Cia-Cia. Aksara Hangeul ini juga digunakan sebagai sarana komunikasi tulis di antara para masyarakat suku Cia-Cia. Tidak hanya itu saja aksara Hangeul ini juga digunakan untuk menuliskan nama jalan yang dipampang di papan jalan sepanjang Kecamatan Sorawolio. Di bawah ini adalah contoh penulisan bahasa Cia-Cia dalam aksara Hangeul.

1. 부리 buri 'menulis'

2. 뽀가우 pogau 'bercakap'

3. 바짜안 baca'an 'membaca.'

4. 까아나 ka'ana 'rumah'

  1. 시골라 sigola 'sekolah'
  2. 사요르 sayor 'sayur'
  3. 보꾸 boku 'buku'

8. 따리마까시 tarimakasi 'terima kasih'

  1. 인디우미안노 indiumianno 'Saya orang Cia-Cia'
  2. 인다우뻬엘루이소오 indaupe'eluiso'o 'Saya cinta awak'
  3. 모아뿌이사우 moapuisau 'maafkan saya'
  4. 움베 umbe 'ya'
  5. 찌아 cia 'tidak'

SIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian di atas terlihat bahwa di Indonesia masih ada suku minoritas yang menggunakan aksara selain aksara atau abjad Indonesia (huruf latin). Bahasa Cia-Cia yang merupakan bahasa Austronesia masih belum mempunyai aksara sendiri yang bisa digunakan untuk mentransliterasikan bahasa mereka dalam sebuah tulisan. Hal ini kemudian menggugah lembaga riset Korea untuk menerapkan aksara Hangeul sebagai aksara resmi untuk menuliskan bahasa Cia-Cia ke dalam sebuah tulisan. Namun, Korea mempunyai alasan tersendiri dalam menjadikan aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia. Alasan tersebut adalah Korea ingin menglobalisasikan Hangeul ke dunia. Selain itu Korea ingin menjadikan bahasa Korea sebagai bahasa ke dua yang diajarkan di sekolah-sekolah di dunia. Alasan yang paling mulia adalah kekhawatiran Korea akan kepunahan bahasa Cia-Cia akibat ketiadaan aksara yang bisa digunakan untuk menulis bahasa tersebut. Dari pihak pemerintah Bau-Bau sendiri pun mempunyai beberapa alasan dalam penerimaan aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa mereka. Alasan pertama adalah keaktifan Korea dalam memperkenalkan budayanya dan pengajaran aksara Hangeul pun tetap dilakukan dalam bahasa Cia-Cia. Tidak hanya itu kemajuan Korea pun dijadikan salah satu alasan dalam penerimaan akasara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa mereka. Sementara itu alasan yang paling historis adalah makna kata Korea dalam bahasa Cia-Cia yang berarti darah. Penggunaan aksara Korea dalam bahasa Cia-Cia sudah semakin luas. Aksara Hangeul dalam bahasa Cia-Cia ini dijadikan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah atas. Aksara ini juga dijadikan sarana dalam penulisan buku-buku dan puisi-puisi suku Cia-Cia. Bahkan aksara ini juga digunakan untuk menuliskan nama jalan.

Penggunaan aksara Hangeul dalam bahasa suku minoritas di Indonesia itu terjadi akibat pemerintah Indonesia kurang sensitif dalam melestarikan dan membina bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Dengan adanya ini diharapkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bisa lebih aktif lagi dalam membina dan melestarikan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://timurangin.blogspot.com/2009/09/etnis-cia-cia-yang-bersahaja-ekspedisi.html, diakses 20 Mei 2010.

http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_issue_detail.htm?No=16214, diakses 20 Mei 2010.

http://www.idrap.or.id/id/ethno_ciacia.htm, diakses 20 Mei 2010.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=1&jd=Liputan+Khusus+Yonhap+News+Agency+dan+KBS+Korea&dn=20090912103659, diakses 20 Mei 2010.

http://www.radarbuton.com/index.php?act= news& nid=3325, diakses 20 Mei 2010.

Konisi, La Ya. 2001. Analisis Kategori Bahasa Cia Liwungau. Jurnal UT, (Online), (htt://triyanifajriutami.wordpress.com/2009/08/08/ hangeul-masuk-indonesia/, diakses 20 Mei 2010).

Kridalaksana, Harimurti. 1991. masa lampau bahasa indonesia: sebuah bunga rampai. Yogyakarta:Kasinius.

Sudhiarta, I Wayan dkk. 1994. Survei Bahasa dan Sastra di Timor Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.