CERPEN IBLIS PARIS
KARYA TRIYANTO TRIWIKROMO
DALAM KAJIAN SIMBOL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa. Setiap karya sastra menggunakan simbol yang memiliki makna tersendiri. Simbol-simbol dalam karya sastra diungkapkan dalam bentuk bahasa yang khas. Puisi, prosa fiksi, dan drama memiliki simbol-simbol tersendiri yang biasanya diungkapkan dalam bahasa yang digunakan penulis. Cerpen adalah salah satu prosa fiksi yang merupakan sebuah dunia simbol. Penulis mengungkapkan perasaan, pikiran, dan idenya dengan bahasa yang khas. Simbol-simbol yang digunakan penulis untuk mengungkapkan ide dan perasaannya tersebut memiliki makna tersendiri. Simbol-simbol itulah yang akan ditafsirkan atau dimaknai oleh pembaca.
Sesuatu dalam teks sastra mungkin dilihat sebagai simbol, mungkin juga tidak, itu bergantung pada interpretasi pembaca (Luxemburg, 1989:69). Pembaca berhak menafsirkan simbol-simbol tersebut secara arbriter. Ada pembaca yang melihat sesuatu dalam teks sastra tersebut sebagai simbol. Namun, ada pula pembaca yang tidak melihat sesuatu itu sebagai simbol. Dalam hal ini daya kritis pembaca sangat diperlukan. Pembaca yang kritis akan menemukan simbol-simbol yang mungkin tidak ditemukan oleh pembaca lain.
Dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo ini terdapat beberapa simbol yang harus ditafsirkan atau dimaknai oleh pembaca. Simbol-simbol tersebut perlu ditafsirkan atau dimaknai agar pembaca lebih memahami maksud penulis atau isi dari cerpen. Dengan itu pembaca akan bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan penulis pada pembaca. Triwikromo menulis cerpen dengan judul Iblis Paris yang sudah merupakan sebuah simbol. Oleh karena itu, cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo ini akan dikaji dengan kajian simbol.
1.2 1
Rumusan Masalah
2
Berdasarkan latar belakang di depan maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah simbol-simbol apa saja yang terdapat dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di depan, maka tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk menganalisis simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo.
1.4 Manfaat
Pengkajian mengenai simbol yang terdapat dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo ini bermanfaat dalam membantu pembaca untuk menemukan simbol-simbol yang ada dalam cerpen Iblis Paris tersebut. Pengkajian simbol-simbol yang ada dalam cerpen Iblis Paris ini juga akan membantu pembaca dalam memahami makna simbol-simbol tersebut sehingga pembaca akan mudah memahami isi atau pesan yang ingin disampaikan Triwikromo dalam cerpen tersebut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Cerpen
Cerpen ialah cerita atau narasi (bukan analisis argumentasi) yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta relatif pendek (Sumardjo dan Saini, 1991:37). Sementara pengertian cerpen menurut Sayuti (1992:6) ialah prosa fiksi yang dibaca selesai dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pemabaca. Sedangkan menurut Najid (2003:18) cerpen ialah prosa fiksi yang relatif pendek. Edgar Allan Poe (Nurgiyantoro, 2007:10) menyatakan bahwa cerpen ialah sebuah cerita yang dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai satu jam.
Cerpen merupakan karya sastra yang mengungkapkan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang melalui bahasa. Cerpen adalah salah satu prosa fiksi yang merupakan sebuah dunia simbol. Dalam cerpen yang berisi cerita narasi yang fiktif dan relatif pendek yang bisa dibaca dalam sekali duduk memiliki bahasa yang khas yang mengungkapkan simbol.
B. Simbol
Dalam Tesaurrus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:459), simbol diartikan sebagai ikon, karakter, lambang, logo, markah, representasi, sinyal, tanda. Simbol adalah kata serapan yang berpadanan dengan kata Indonesia lambang. Simbol ataupun lamabang adalah suatu konsep yang berada di dunia ide atau pikiran kita (Chaer, 2002:38). Misalnya, kata “kursi” mewakili suatu konsep di pikiran berupa benda yang biasa digunakan sebagai tempat duduk.
3
Endraswara (2011:65) menyatakan bahwa simbol adalah tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbriter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Sedangkan pengertian simbol menurut Luxemburg (1989:67) adalah lambang, sesuatu yang berdasarkan perjanjian atau konvensi mengacu pada gagasan atau pengertian tertentu. Spadley dan McCurdy (Supratno, 2010:27) menyatakan bahwa simbol mempunyai makna yang luas, bahkan semua objek apa pun atau kejadian yang mempunyai makna dapat disebut simbol.
4
Rahmanto (Sumarto, 1984:133) membedakan tiga simbol bahasa, yaitu (1) simbol universal berkaitan dengan arketipus, misalnya tidur sebagai lambang kematian; (2) Simbol kultural yang melatarbelakangi suatu kebudayaan tertentu ; dan (3) Simbol individual di pakai ke dalam studi bahasa masyarakat dan lingkungan. Dalam kajian ini simbol yang akan dikaji adalah simbol universal yang berkaitan dengan arketipus.
Mead (Supratno, 2010:23) menjelaskan bahwa makna simbol bukan terletak pada proses mental, tetapi terletak pada proses interaksi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolik ia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Menurut Sunarto (Supratno, 2010:23) bahwa para ahli sosiologi penganut interaksionisme simbolik, menganggap bahwa komunikasi khususnya simbol merupakan kunci untuk mengetahui kehidupan sosial. Menurut Veeger (Supratno, 2010:24) menyatakan bahwa dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan maknanya.
Supratno (2010:23) mengungkapkan bahwa interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai satu-satunya simbol yang terpenting dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, tetapi simbol berada dalam proses yang kontinyu. Simbol khususnya bahasa tidak hanya memungkinkan manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, tetapi simbol juga merupakan alat berpikir, sebagai alat berkomunikasi dengan dirinya sendiri (Supratno, 2010:23).
Simbolisme merupakan suatu aliran dalam kesusastraan yang menggambarkan pengalaman batin, pikiran, emosi, melalui objek-objek, kata-kata, bunyi-bunyi yang memunyai fungsi simbolik maksudya objek, kata, dan bunyi yang memunyai makna referensi (Wahyudi, 1992: 85). Penulis terkadang mengungkapkan ide-idenya dalam bentuk simbol yang nantinya akan ditafsirkan atau dimaknai sendiri oleh pembaca.
5
Dalam karya sastra simbol hadir berupa kata yang maknanya mengacu kepada makna lain. Simbol hadir karena penulis atau pengarang ingin menyampaikan pikiran, perasaan, dan keinginannya dengan bahasa yang khas. Sesuatu dalam teks sastra bisa dilihat sebagai simbol, bisa juga tidak, itu bergantung pada interpretasi pembaca (Luxemburg, 1989:69). Pemaknaan terhadap simbol diserahkan kepada pembaca yang membaca karya sastra tersebut.
Selain itu simbol merupakan tanda yang terbentuk secara konvensial atau semata-mata karena kesepakatan, contohnya, bahasa secara umum (abjad, kata-kata, frase-frase). Burung merpati adalah simbol perdamaian, melati putih merupakan simbol cinta suci, mawar adalah simbol cinta yang membara, tidur adalah tanda kematian, dan lain sebagainya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Simbol-Simbol yang Terdapat dalam Cerpen Iblis Paris Karya Triyanto Triwikromo
Dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo ini terdapat beberapa simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan Triwikromo sebagai gambaran ide, pikiran, atau perasaannya. Simbol itulah yang harus ditafsirkan atau dimaknai sendiri oleh pembaca. Simbol-simbol yang akan dibahas dalam kajian kali ini adalah sebagai berikut.
3.1.1 Terbang
Dalam kenyataan tidak ada manusia yang bisa terbang. Makhluk hidup ciptaan Tuhan yang dapat terbang hanyalah burung. Burung dianugrahi sayap sehingga dia bisa terbang di angkasa. Terbang yang dilakukan oleh tokoh Aku dalam cerpen Iblis Paris ini adalah sebuah simbol.
Terbang dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:516) diartikan sebagai melambung, melangit, melayang, membubung, mengangkasa, mengudara, tinggal landas. Dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo merupakan sebuah simbol yang berarti naik pesawat terbang. Hal itu tercermin dalam teks, yaitu “Tak memilih tanah indah bagi para peziarah itu, sambil memanggul kekecewaan yang teramat sangat, aku terbang ke Lyon” (Triwikromo, 2009:12).
Tokoh Aku terbang ke Lyon dengan pesawat yang didesain seperti burung sehingga bisa terbang. Pesawat memiliki sayap dan ekor yang menjadikannya bisa terbang. Namun, berbeda dengan burung yang membutuhkan udara untuk terbang, pesawat terbang memerlukan bahan bakar agar bisa terbang. Pesawat juga memiliki mesin yang mnjadikannya dapat terbang di angkasa.
6
Terbang dalam arti yang sebenarnya dan arti simbolik memiliki kesinambungan karena secara simbolik terbang adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan alat yang bisa mengudara (terbang).
7
3.1.2 Serbuk Iblis
Serbuk iblis merupakan sebuah frasa yang terdiri atas dua kata yaitu serbuk dan iblis. Serbuk dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:452) berarti bubuk. Sementara iblis dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:195) adalah hantu, jin, roh jahat, setan. Seringga frasa “serbuk iblis dapat diartikan sebagai bubuk hantu atau bubuk setan.
Namun, dalam cerpen Iblis Paris, serbuk iblis bukanlah bubuk jahat melainkan heroin. Heroin merupakan narkoba yang berbentuk serbuk dan jika digunakan dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan kematian bagi penggunanya. Hal itu ditunjukkan dalam teks, yaitu “Aku tak ingin lagi dikejar-kejar oleh para cecunguk sialan yang mau dibayar murah untuk memenggal keapalaku. Jika harus membela bangsa Shan, aku tak ingin lagi mengirimkan serbuk iblis ke berbagai penjuru dunia” (Triwikromo, 2009:13).
Pemaknaan serbuk iblis sebagai heroin juga didasarkan pada cuplikan teks yang menyatakan bahwa tokoh Aku yang bernama Zita memiliki bisnis heroin. Cuplikan tersebut yaitu “Di negeri Napoleon, kau tak perlu berbisnis heroin lagi, Zita. Percayalah, sampai aku mati, hotel itu akan tetap berdiri” (Triwikromo, 2009:12). Kemudian pada halaman ke-16 disebutkan bahwa tokoh Aku atau Zita kembali berbisnis serbuk iblis. Sehingga serbuk iblis dimaknai sebagai heroin. Cuplikan teks tersebut adalah “Oo, justru kini kehidupan yang sebenarnya sedang dimulai. Tak terikat kepada siapa pun, aku justru berani berbisnis serbuk iblis kembali” (Triwikromo, 2009:16).
Serbuk iblis dalam arti yang sebenarnya dan arti simbolik memiliki kesinambungan karena iblis merupakan roh jahat yang mengancam kehidupan manusia, begitu juga dengan heroin yang mengancam hidup penggunanya. Heroin sama seperti iblis juga menghantui hidup manusia.
3.1.3 Makan Hati
Makan hati dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo merupakan sebuah simbol. makan hati merupakan gabungan dari dua kata yaitu kata makan dan kata hati. Makan dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:305) berarti mamah atau santap. Sementara hati dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Pusat Bahasa (2008:187) memiliki arti lever, jantung. Sehingga dalam arti kamus makan hati berarti santap hati atau lever.
8
Namun, dalam cerpen Iblis Paris, makan hati merupakan sebuah simbol yang berarti kesal atau susah hati. Pemaknaan ini didasarkan pada cuplikan teks di bawah ini.
Ah, menjadi kekasih tersembunyi sangat makan hati. Dengan cara apa pun, kau akan kesulitan mengekspresikan rasa cinta. Hanya memandang takjub keperkasaan kekasih pujaan di hadapan serdadu lain, kau akan kesulitan. Hanya mencuri-curi pandang saat pria yang seharusnya lebih pas jadi ayahku memberikan maklumat kepada pasukan, mata-mata lain akan memelototimu. Karena itu, aku hanya hidup dalam rahasia sedih sang kekasih. Hanya ketika ia mengajakku—juga secara sembunyi-sembunyi—ke negeri-negeri yang jauh aku bisa merebahkan tubuh di dadanya (Triwikromo, 2009:15).
Berdasarkan cuplikan di atas terlihat bahwa makan hati adalah rasa kesal tokoh Aku yang tidak dapat mengekspresikkan rasa cintanya secara terbuka. Hal itu dikarenakan dia hanyalah kekasih simpanan. Dia hanya bisa memandang kekasihnya tanpa bisa memegang atau mengungkapkan rasa cintanya sehingga dia merasa kesal karena hanya menjadi kekasih simpanan saja.
3.1.4 Iblis
Iblis dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:195) adalah hantu, jin, roh jahat, setan. Namun, dalam cerpen Iblis Paris, iblis bukanlah hantu, jin, roh jahat, ataupun setan, tetapi iblis adalah sebuah simbol. Dalam cerpen Iblis Paris ini, iblis berarti sebagai orang jahat.
Simbol iblis mulai muncul dari judul cerpen yaitu Iblis Paris. Iblis Paris dapat diartikan sebagai orang jahat di Paris. Hal itu dibuktikan dengan teks, yaitu “Karena itu, begitu tahu kau akan berimigrasi ke Perancis, saat itu pula ia mengirim pembunuhmu ke Perancis. Jadi, percayalah kepadaku, Zita, jangan pernah ke Paris. Dan jika aku sudah mati, jangan juga pernah bercinta denagn laki-laki dari kota penuh iblis itu” (Tiwikromo, 2009:17). Pemaknaan kata iblis sebagai orang jahat juga didasarkan pada cuplikan teks cerpen Iblis Paris, yaitu “Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu jika kau bermimpi tinggal di kota brengsek itu” (Triwikromo, 2009:17).
9
Selain cuplikan di atas masih ada cuplikan teks yang menunjukkan bahwa iblis adalah simbol dari orang jahat. Cuplikan tersebut adalah “Di Paris, kau tahu, hanya ada iblis yang tergesa-gesa mengetuk pintu dan menusukkan pistol di lambungku yang ringkih tanpa kendhit pengaman” (Triwikromo, 2009:19).
3.1.5 Bermata Nakal
Bermata nakal adalah sebuah frasa yang terdiria atas dua kata, yaitu kata bermata dan kata nakal. Mata adalah bagian dari tubuh manusia atau organ tubuh manusia. Sementara kata nakal dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:334) berarti badung, bandel, buruk (kelakuan). Nakal merupakan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sedangkan mata hanya bagian dari tubuh manusia. Mata hanya berfungsi untuk melihat dan mata adalah benda mati yang tidak memiliki sifat. Sehingga dalam arti yang sebenarnya mata tidak memiliki sifat, termasuk sifat nakal. Nakal adalah sifat yang hanya dimiliki oleh manusia.
Bermata nakal dalam cerpen Iblis Paris ini adalah simbol yang menyatakan sifat manusia. Bermata nakal dapat dimaknai sebagai memiliki mata yang jelalatan atau melihat ke sana-ke mari (mata keranjang). Hal itu tercermin dalam teks cerpen di bawah ini.
Tentu aku masih sangat mencintai Khun Sa, meskipun kurir heroin keturunan Aljazair-Spanyol, Aljir Duarte, yang memang bermata nakal, mulai berani meremas pantat dan mengajakku mandi bersama dalam kucuran shower yang sering macet, atau memelukku dari belakang ketika aku sedang berdandan di depan cermin buram di kamar pribadiku yang berdekatan dengan gudang (Triwikromo, 2009:17).
3.1.6 Layar Serba Hitam
Layar serba hitam dalam arti yang sebenarnya dapat diartikan seabgai layar yang terbuat dari kain hitam atau layar yang dicat hitam sehingga terlihat hitam. Namun, dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Ttriwikromo ini, layar serba hitam bukanlah layar yang terbuat dari kain hitam ataupun layar yang dicat hitam. Layar serba hitam adalah sebuah simbol yang terdapat dalam cerpen ini.
10
Layar serba hitam dapat diartikan sebagai keadaan gelap saat seseorang memejamkan matanya (pingsan). Tokoh Aku atau Zita merasa berada di layar serba hitam saat dia memejamkan matanya karena terkejut mendapati dirinya akan dibunuh oleh Duarte. Hal itu tercermin dalam cuplikan teks, yaitu “Tak kujawab pertanyaan Duarte. Kupejamkan mataku dan di layar serba hitam itu kulihat Khun Sa bersama ratusan serdadu berkuda meletuskan seluruh senapan ke jantung Duarte yang tak terlindung oleh apa pun” (Triwikromo, 2009:19).
Berdasarkan cuplikan tersebut, jelas bahwa layar hitam adalah keadaan gelap yang disinggahi tokoh Aku setelah dia memejamkan matanya (pingsan). Setelah seseorang memejamkan matanya, saat itulah keadaan serba gelap muncul. Keadaan gelap setelah seseorang memejamkan matanya itulah yang disimbolkan dengan layar serba hitam. Kata hitam dipakai karena hitam adalah warna gelap.
BAB III
PENUTUP
Dalam cerpen Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo ini terdapat beberapa simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan Triwikromo sebagai gambaran ide, pikiran, atau perasaannya. Simbol itulah yang akan ditafsirkan atau dimaknai sendiri oleh pembaca. Simbol-simbol yang akan dibahas dalam pembahasan kali ini adalah sebagai berikut.
1. Terbang. Dalam cerpen Iblis Paris, terbang dimaknai sebagai naik pesawat terbang.
2. Serbuk Iblis. Dalam cerpen Iblis Paris, serbuk iblis dimaknai sebagai heroin.
3. Makan hati. Dalam cerpen Iblis Paris, makan hati dimaknai sebagai rasa kesal yang dialami tokoh Aku.
4. Iblis. Dalam cerpen Iblis Paris, iblis dimaknai sebagai orang jahat.
5. Bermata Nakal. Dalam cerpen Iblis Paris, bermata nakal dimaknai sebagai memiliki mata jelalatan atau melihat ke sana-ke mari (mata keranjang).
6. Layar Serba Hitam. Dalam cerpen Iblis Paris, layar serba hitam dimaknai sebagai keadaan gelap yang dialamai seseorang setelah dia memejamkan matanya (pingsan).
11
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: CAPS.
Luxemburg, dkk. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Najid, Mohammad. 2003. Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Sayuti, Suminto. 1992. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud.
Sugono, Dendy, dkk. 2008. Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sumardjo, Jakob dan Saini. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumarto, A. Sardju. 1984. Pengantar Linguistik Umum. Bandung: Institut Tekhnik Bandung.
Supratno, Haris. 2010. Sosiologi Seni: Wayang Sasak Lakon Dewi Rengganis Dalam Konteks Perubahan Masyarakat Di Lombok. Surabaya: Unesa Univesity Press.
Triwikromo, Tritanto. 2009. Smokol. Jakarta: Kompas.
IBLIS PARIS
Karya: Triyanto Triwikromo
Ya, jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong pistol ke lambungmu, sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini
Segalanya begitu cepat berubah setelah Khun Sa meninggal. Aku, boneka kencana Raja Opium Segitiga Emas yang disembunyikan dan kelak kau kenal sebagai Zita, memang tidak mungkin mengikuti upacara kremasi bersama-sama gerilyawan Shan. Aku tak mungkin mencium harum abu kekasih atau sekadar membayangkan mati perkasa dalam amuk api percintaan. Aku juga tak mungkin berjalan tertatih-tatih di belakang keranda dan mencoba menembakkan pistol di jidat sebelum kekasih lain mempertontonkan kesetiaan hanya dengan menangis sesenggukan. Sejak 1996 yang menyakitkan, Pangeran Kematian memang menyuruhku menghilang ke Perancis. Ia yakin benar Mong Thay Army, serdadu kepercayaannya, tak mungkin bisa melindungiku dari kekejaman para petinggi junta, sehingga memintaku menyingkir ke negeri yang tak terjangkau oleh bedil dan penjara Burma.
“Bukankah kau ingin sekali bertemu dengan Maria di Lourdes? Bukankah kau ingin mendapatkan tuah Bernadette Soubirous?”
Tak memilih tanah indah bagi para peziarah itu, sambil memanggul kekecewaan yang teramat sangat, aku terbang ke Lyon. Di kota penuh katedral itu, ia membelikan aku rumah kuno dan segera kusulap bangunan mirip kastil seram milik Pangeran Kelelawar itu menjadi hotel sederhana. Jika suatu saat tersesat di Jalan Saint Michel, percayalah, kau akan menemukan aku dan Anjeli, adik perempuanku, mengelola hotel untuk para turis miskin itu.
”Di negeri Napoleon, kau tak perlu berbisnis heroin lagi, Zita. Percayalah, sampai aku mati, hotel itu akan tetap berdiri.”
Tanpa ia berkata semacam itu, aku memang berniat membebaskan diri dari apa pun yang mengingatkan aku pada segala yang kulakukan bersama 25.000 serdadu di hutan perbatasan Thailand, Laos, dan Burma. Aku tak ingin lagi dikejar-kejar oleh para cecunguk sialan yang mau dibayar murah untuk memenggal kepalaku. Jika harus membela bangsa Shan, aku tak ingin lagi mengirimkan serbuk iblis ke berbagai penjuru dunia. Ya, ya, aku toh bisa menggunakan cara lain untuk menghabisi para serdadu bengis itu Kerling mata, jari lentik, dan gairah yang meletup-letup saat aku menari, kurasa cukup menjadi senjata.
Hanya, aku heran mengapa ia tak mengembalikan aku ke Dhaka. Ke kota kali pertama ia memungutku saat aku bermain-main dengan Anjeli di Sungai Buriganga setelah banjir muson reda. Aku masih ingat pada 1971—saat kotaku menjadi ibu kota Banglades—Khun Sa meminta ayahku, Ghuslan, agar mengurus bisnis heroin di perbatasan Thailand-Burma. Karena tak ingin berpisah dari keluarga, ayah mengajak ibu dan kedua anak perempuan bergabung.
”Masa depan kita bukan di negeri ini,” kata ayah kepada ibuku, Katra.
Aku yang waktu itu masih berusia tujuh tahun sama sekali tak mengerti maksud ayah. Yang kutahu setahun sebelum peristiwa itu ayah dan ibu tak pernah lagi mengajak aku dan Anjeli ke gereja, tak suka lagi mempercakapkan sayap malaikat, dan juga tak mengenakan kalung salib di leher.
”Cepat atau lambat, kita akan terusir,” kata ayah, ”Karena itu, ada baiknya kita terima saja tawaran Khun Sa. Percayalah, ini hanya sementara, Katra. Setelah punya cukup bekal, kita akan berimigrasi ke Prancis. Bukankah kau ingin hidup berlumur kasih Maria di Lourdes?”
Antara lupa dan ingat, setahuku ibu tak menjawab. Hanya, malam itu juga dijemput sebuah jip, kami kemudian meninggalkan Dhaka. Meninggalkan alunan musik Gombhira-Bhatiali-Bhawaiya dan Delta Gangga-Brahmaputra yang subur. Belakangan aku baru tahu, kami juga harus menghapus kenangan pada angin tropis dengan musim dingin yang sejuk pada Oktober-Maret dan musim panas Maret-Juni. Dan yang tak mungkin kulupakan tentu saja musim monsun yang hangat dan lembab serta Kota Chittagong yang memiliki pantai terpanjang di dunia. Andai saat itu boleh memilih, aku tentu tak ingin jauh dari Kuil Dakeshwari, Istana Bara Katra, Hoseni Dalan, dan Benteng Lal Bagh yang membuatku bangga sebagai putri Banglades.
Rupa-rupanya ayah tak menduga setelah malam itu kami hanya akan hidup di hutan bersama pasukan bangsa Shan. Akan tetapi, jangan membayangkan dikepung pepohonan kami tak mengenal dunia. Khun Sa tak membiarkan putri-putri indah seperti kami tak bisa menghitung jumlah bintang di langit. Dengan mengundang guru privat dari Inggris dan legiun asing dari Prancis, ia juga tak membuat kami asing dari peta, kata-kata, dan bahkan senjata dari berbagai bangsa. Dan yang tak terduga, para istri pangeran pendiam itu, mengajari kami menari, mengenal bahasa tubuh, erang dahsyat percumbuan, serta memahami keindahan melawan kekejaman para junta.
Karena itu, tak perlu heran pada usiaku yang kedua puluh, aku telah mahir membunuh apa pun yang berkelebat dengan pistol andalan. Juga tak perlu kaget pada usiaku yang kedua puluh lima, Khun Sa memintaku menjadi kekasih tersembunyi.
”Siapa pun tak akan pernah tahu bahwa kau telah menjadi pewaris tunggal kekuasaanku. Kelak junta boleh menghabisiku, tapi kau tak akan pernah tersentuh. Kelak aku mungkin akan pura-pura menyerah, tetapi kau akan menyelamatkan bangsa Shan dari penindasan,” desis Khun Sa sambil terus-menerus mencakar punggungku.
Ah, menjadi kekasih tersembunyi, sangat makan hati. Dengan cara apa pun, kau akan kesulitan mengekspresikan rasa cinta. Hanya memandang takjub keperkasaan kekasih pujaan di hadapan serdadu lain, kau akan kesulitan. Hanya mencuri-curi pandang saat pria yang seharusnya lebih pas jadi ayahku memberikan maklumat kepada pasukan, mata-mata lain akan memelototimu. Karena itu, aku hanya hidup dalam rahasia sedih sang kekasih. Hanya ketika ia mengajakku—juga secara sembunyi-sembunyi—ke negeri-negeri yang jauh aku bisa merebahkan tubuh di dadanya. Hanya ketika ia meninggalkan puluhan kekasih di Burma aku bisa mengukuhkan diriku sebagai sisihan.
”Pada akhirnya aku akan tua, Zita. Pada akhirnya hanya kau yang bisa meneruskan perjuangan bangsa Shan,” kata dia sesaat sebelum memintaku berimigrasi ke Prancis, ”Dan aku tak memintamu kembali ke Dhaka karena kau tak mungkin bisa memimpin pergerakan di negeri yang hanya memberimu keindahan...”
Keindahan? Ah, aku telah melupakan keindahan sejak hanya kukenal pertempuran dengan para polisi yang mengejar-ngejar kami dari hutan ke hutan. Aku telah melupakan keindahan sejak para junta memaksa kami untuk segera menyerah dan memaksa tinggal di Rangoon tanpa kebanggaan sebagai pejuang. Aku tak lagi mengenal keindahan sejak cintaku kepada sang Pangeran Kematian hanya bisa disembunyikan di rerimbun dahan. Keindahan, kau tahu, hanya muncul, sesaat ketika bulan seiris jeruk memancarkan sinar tepat di pucuk Katedral Saint Jean. Dan sayang, sebagai orang yang terpenjara oleh pekerjaan rutin sebagai pengelola hotel, sungguh tak mudah dan butuh perjuangan panjang agar sampai ke situs peribadatan tak jauh dari Fourviere itu. Paling tidak aku harus berjalan kaki dengan tertatih-tatih ke Stasiun Saxe Gambetta, berganti-ganti kereta bawah tanah yang disesaki para imigran, untuk pada akhirnya merangkak ke tebing yang nyaris tegak lurus dengan langit dengan funicular, dengan kereta yang lebih mirip sebagai ular melata menembus lorong-lorong gedung sunyi selalu kubayangkan penuh kelelawar itu.
Kau mungkin menyangka setelah riwayat Khun Sa habis, berakhir pula nasib hotel tua dan sepasang perempuan yang kesepian. Oo, justru kini kehidupan yang sebenarnya sedang dimulai. Tak terikat pada siapa pun, aku justru berani berbisnis serbuk iblis kembali. Tak mungkin menggerakkan perjuangan melawan kekejaman junta hanya dengan mengandalkan doa para biksu dan duit keropos dari tabungan para pejuang Shan. Aku juga mulai tak suka pada kelembekan Aung San Suu Kyi yang tidak segera habis-habisan menghajar para junta dengan bayonet atau sekadar cakar. Karena itu, ketika bercermin, aku kerap membayangkan diri sebagai serdadu lagi, dan mencoreng-coreng wajah dengan water colour warna hijau. Aku juga mulai berkhayal menganggap semua gedung kuno di Lyon sebagai pohon-pohon raksasa di perbatasan Thailand-Burma. Serba hitam, magis, dan penuh ular yang bisa memangsa musuh yang terjebak dan kehilangan cara untuk menemukan sinar matahari kembali.
Tentu aku masih sangat mencintai Khun Sa, meskipun kurir heroin keturunan Aljazair-Spanyol, Aljir Duarte, yang memang bermata nakal, mulai berani meremas pantat dan mengajakku mandi bersama dalam kucuran shower yang sering macet, atau memelukku dari belakang ketika aku sedang berdandan di depan cermin buram, di kamar pribadiku yang berdekatan dengan gudang.
Dan mencintai Khun Sa, kau tahu, haruslah selalu menganggap diri sebagai pisau atau pistol mematikan bagi para musuh almarhum. Karena itu, kepada siapa pun aku tak pernah bercerita mengenai burung-burung dan ratusan angsa Khun Sa yang ribut tak keruan setiap mendengar derap kaki kuda kami beradu dengan tanah berdebu atau saat melihat kami bercumbu di rerimbun pohon penuh benalu.
Juga kepada Duarte, aku selalu waspada dan tak pernah kukatakan mengapa aku tak pernah mau tinggal di Paris atau sekadar berdoa di Katedral Notre Dame dan menikmati panas matahari musim dingin dari Sungai Seine.
”Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu jika kau bermimpi tinggal di kota brengsek itu. Ketahuilah, Zita, sejak salah seorang kepercayaanku mengetahui aku mencintaimu, saat itu pula ia berniat membunuhmu. Kau dianggap akan melemahkan perjuangan. Karena itu, begitu tahu kau akan berimigrasi ke Prancis, saat itu pula ia mengirim pembunuhmu ke Prancis. Jadi, percayalah kepadaku, Zita, jangan pernah ke Paris. Dan jika aku sudah mati, jangan juga pernah bercinta dengan laki-laki dari kota penuh iblis itu.”
Dulu aku tertawa keras-keras saat Khun Sa mendesiskan kata-kata busuk itu ke telingaku. Dan kini aku juga tertawa terpingkal-pingkal ketika Duarte memamerkan rumah mungil di kawasan bekas biara di Jalan Notre Dame yang di foto terlihat seperti gang penuh reptil, kodok, pengemis, dan sepeda bobrok itu.
”Ayolah, Zita, aku akan mengubah segala yang tampak seperti neraka sebagai surga. Setiap hari akan kuajak kau bercinta dalam boat putih sebelum badai tiba,” dengus Duarte sambil menyeretku ke gudang penuh debu.
Hmm, pada mulanya aku memang agak tergoda untuk meninggalkan Lyon. Aku juga mulai berpikir untuk mengakhiri segala urusanku dengan bangsa Shan. Namun, selalu saja ketika dengus napas Duarte mulai memburu, aku selalu membayangkan lelaki kencana itu berubah menjadi iblis bersayap merah dengan moncong anjing yang melelehkan air liur bacin. Selalu saja aku tak sanggup memeluk atau sekadar mencium kening lelaki indah yang telah malih rupa jadi hewan berbulu runcing itu.
Kalau sudah begitu, Khun Sa akan muncul dari cermin dan membisikkan kata-kata aneh serupa mantra dari Negeri Kematian dan menyuruhku mengusir Duarte.
”Kau yakin, dia yang akan membunuhku?” desisku sambil berharap Khun Sa akan menggeleng.
Khun Sa bergeming. Ia tidak menggeleng, tetapi juga tidak mengangguk.
”Kau yakin, dia musuh terakhir yang harus kubunuh?” kataku sambil merogoh pistol yang selalu kusimpan di pinggang.
Dan karena dengan sangat cepat aku mengacungkan pistol ke kening Duarte, lelaki yang hendak mencumbuku dengan berahi yang meluap-luap itu kulihat menggigil ketakutan.
Menggigil ketakutan? Tidak! Tidak! Matakulah yang lamur. Dengan gerakan yang sangat cepat dan tak terduga, ia merebut pistol yang siap kuletuskan. Kini ganti Duartelah yang menusukkan ujung pistol itu ke perutku.
”Ya, sudah lama aku menguntitmu, Zita. Sudah lama aku akan membunuhmu. Tapi Khun Sa telah mati. Jenderal-jenderal lain juga sudah kabur ke negeri tetangga, apalagi yang akan kita bela?”
Tak kujawab pertanyaan Duarte. Kupejamkan mataku dan di layar serbahitam itu, kulihat Khun Sa bersama ratusan serdadu berkuda meletuskan seluruh senapan ke jantung Duarte yang tak terlindung oleh apa pun.
Dan karena peristiwa itu terjadi berulang-ulang—juga ketika Duarte serius meminangku—kini aku kian yakin, di Paris, aku tak akan pernah meninggalkan sepasang sandal, sehelai gaun, dan cincin pengantin.
Di Paris, kau tahu, hanya ada iblis yang tergesa-gesa mengetuk pintu dan menusukkan pistol di lambungku yang ringkih tanpa kendhit pengaman.
Sudah mati jugakah Thian?
Paris September 2007- Sydney Januari 2008