RESENSI
NOVEL HARIMAU!HARIMAU!
KARYA MOCHTAR LUBIS
AFIYAH NUR KAYATI
082074225
PNA-2008
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MEI 2010
HARIMAU!HARIMAU!
Judul Buku : HARIMAU!HARIMAU!
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan : VI, 2003
Tebal : vi + 214 halaman, 17 cm
Novel yang ditulis Mochtar Lubis ini telah mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama sebagai buku penulisan sastra terbaik pada tahun 1975. Karya-karya Mochtar Lubis banyak yang mendapatkan hadiah sastra, antara lain roman Jalan Tak Ada Ujung pada tahun 1952. Tahun 1975 Mochtar Lubis membuat gebrakan baru di dunia sastra dengan menulis novel Harimau!Harimau ini. Novel ini masih bertemakan kehidupan sehari-hari namun kali ini cerita yang diangkat lebih menarik dan merupakan hal baru di dunia sastra Indonesia.
Novel “Harimau!Harimau!” ini menceritakan tentang perjalanan tujuh orang lelaki kampung yang biasa mencari damar di hutan. Perjalanan mereka dalam mencari damar ini merupakan petualangan yang amat menegangkan. Dalam perjalanan itu mereka telah merebut buruan seekor harimau tua yang kelaparan. Kemudian mereka pun dikejar-kejar oleh harimau itu. Berhari-hari mereka mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun, satu per satu dari mereka harus menjadi korban. Mulai dari Pak Balam, Talib, dan Sutan semuanya telah menjadi korban. Selama kejar-kejaran itu, topeng-topeng ketujuh anak manusia itu pun terpaksa dibuka satu per satu. Mereka menganggap harimau kelaparan itu sebagai karma yang dikirimkan Tuhan untuk manusia-manusia yang berdosa. Bahkan orang yang mereka jadikan pemimpin adalah orang yang lebih buas daripada harimau. Sanip, seorang pemuda yang sangat ceria pun ternyata dia adalah seorang pencuri, pezinah, dan pendusta. Beberapa orang di antara mereka pun tidak berani menceritakan borok-borok yang pernah mereka lakukan selama ini. Sampai akhirnya terjadi pertengkaran antara Pak Haji dan Wak Katok. Pak Haji tertembak oleh senapan Wak Katok dan menghembuskan napas terakhirnya. Sebelum meninggal Pak Haji sempat menasehati Buyung dan Sutan bahwa sebelum membunuh harimau yang buas, sebaiknya membunuh harimau yang ada dalam hati sendiri. Dari nasihat itu Buyung pun mempunyai akal untuk menjadikan Wak Katok sebagai umpan untuk menangkap harimau buas itu. Dengan siasat itulah Buyung dan Sanip dapat melumpuhkan harimau kelaparan yang selalu mengincar mereka selama berhari-hari.
Novel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Jepang ini berisi banyak sekali pesan-pesan moral yang patut dilakukan oleh setiap manusia. Pesan moral ini terurai hampir di seluruh bagian cerita, terutama di bagian akhir cerita. Pesan-pesan moral ini antara lain tertuang pada halaman 198 dan 199. Pesan-pesan itu adalah “…kita tak hidup sendiri di dunia…manusia sendiri-sendiri tak dapat hidup sempurna, dan tak mungkin hidup sebagai manusia, tak mungkin lengkap manusianya.” (halaman 198, baris ke 22—24). Di halaman 199 tertuang satu pesan yang berharga yaitu “ …kemanusian hanya dapat dibina dengan mencinta, dan bukan denngan membenci. Orang yang membenci tidak saja hendak merusak manusia lain, tetapi pertama sekali merusak manusia dirinya sendiri.” (baris ke 21--24). Masih tetap di halaman 199 pembaca diajarkan untuk memaafkan kesalahan dan dosa-dosa orang lain.
Selain pesan-pesan moral yang sangat banyak novel ini juga menyajikan sebuah alur atau plot yang menegangkan. Pembaca seperti diajak berpetualang layaknya ketujuh pemburu itu. Tokoh-tokoh yang disajikan adalah orang-orang pribumi asli dengan berbagai kebudayaan masyarakat Indonesia pada zaman itu. Kebudayaan-kebudayaan itu antara lain adalah ritual-ritual sihir atau dunia perdukunan dengan segala mantra-mantranya. Setting yang digunakan pun adalah tempat kebanggaan bumi pertiwi ini pada zaman dahulu, yakni, hutan rimba yang dulu masih berjaya dan berdiri subur. Potret kehidupan manusia pun disajikan dengan begitu apiknya dengan segala kebaikan dan keburukan manusia pada saat berada dalam keadaan terkekan dan terjepit.
Namun, dalam novel ini ada beberapa kalimat yang tidak sepantasnya ditulis atau diceritakan. Contohnya, pada halaman 47 paragraf 4 penulis terlalu mendeskripsikan hal-hal tabu pada salah satu tokoh. Penulis terlalu jelas dalam mendeskripsikan salah satu bagian intim tubuh Siti Rubiyah, sehingga pada bagian ini belum pantas dibaca oleh anak-anak. Selain itu pada halaman 147 paragraf 4 juga mendeskripsikan hubungan intim antara seorang laki-laki dan perempuan, yang tentu tidak pantas jika dibaca oleh anak-anak. Selain itu dalam novel ini belum dijelaskan secara kongkret daerah tempat terjadinya kisah ini.
Novel yang terdiri atas tujuh bagian ini menggunakan bahasa yang bernilai sastra tinggi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra lama. Ejaan-ejaannya pun masih ejaan lama yang rata-rata tidak baku. Seperti kata “mesjid” (halaman 6, baris 20), kata ini belum baku dan bakunya adalah “masjid”. “Terlambaung” (halaman 11, baris terakhir) merupakan kata dengan ejaan lama yang sekarang berubah menjadi “terlambung”. “Bagian” pun masih ditulis “bahagian”, “lubang” ditulis dengan “lobang”, “selalu” ditulis dengan “selalau”, dan “ubah” pun masih ditulis dengan “obah”. Dengan bahasa dan ejaan-ejaan lama tersebut membuat pembaca terutama pembaca yang masih awam mengalami kesulitan dalam memahami makna kalimat atau kata-katanya. Selain itu dalam novel ini banyak sekali kalimat yang diwali dengan ‘dan” serta “atau”, misalkan pada halaman 5 paragraf 3, halaman 8 baris 20, dan masih banyak yang lainnya.
Kesalahan penulisan pun terlihat di beberapa bagian dalam novel ini. Kaata kata “ber sama-sama” di halaman 16 baris 22, yang seharusnya ditulis serangkai. Kata “tupaipun” di halaman 27 baris 17 , yang seharusnya ditulis terpisah. Kata “ditanamn” yang seharusnya adalah “ditanam”. Frasa “lain kali” (halaman 70 baris 31) yang benar seharusnya adalah “kali lain”. Di halaman 76 kata “ksatria” seharusnya ditulis “kesatria”. Kata “melihata” (halaman 85 baris 6) seharusnya ditulis “melihat”. “Diceritikankah” (halaman 130 baris 14) yang benar adalah “diceritakankah”. Kata ulang “mundar-mandir” seharusnya menjadi “mondar-mandir”. Begitu juga dengan “daun-dauan” (halaman 154 baris 22) seharusnya yang benar adalah “daun-daunan”. Di halaman 163 baris 1, kara “berdosa” ditulis dengan bedosa. Kata “merka” (halaman 185 baris 17) yang seharusnya ditulis dengan “mereka”.
Di samping itu semua, novel ini layak dibaca untuk semua kalangan. Hal ini dikarenakan novel ini banyak memuat pesan-pesan moral yang dapat mendidik moral dan kepribadian anak bangsa terutama para remaja. Dengan membaca novel ini para pembaca dapat menngambil pelajaran-pelajaran hidup yang terkandung dalam novel ini.
Peresensi :
Afiyah Nur Kayati (082074225) PNA-2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar