BENARKAH
AKSARA INDONESIA TELAH TERGANTI DENGAN AKSARA HANGEUL?
Afiyah Nur Kayati
Keanekaragaman bahasa merupakan salah satu ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Ratusan bahasa daerah tersebut tersebar di pelbagai pulau di Indonesia. Keberadaan bahasa daerah sangatlah penting dalam memperkaya budaya dan bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa daerah itu ada yang didukung oleh wilayah sebar yang luas dan jumlah penutur yang relatif banyak, namun sebaliknya masih ada beberapa daerah yang bahasanya digunakan oleh jumlah penutur yang sedikit dan wilayah sebar yang sempit. Itulah yang menunjukkan bahwa bahasa daerah hanya hidup dan berkembang di daerah masyarakat penuturnya saja. Salah satu bahasa daerah yang dituturkan oleh penutur yang relatif sedikit itu adalah bahasa Cia-Cia, bahasa daerah Bau-Bau di pulau Buton.
Bahasa Cia-Cia merupakan cerminan bahasa daerah yang keberadaannya kurang disadari oleh pemerintah Indonesia terutama pemerintah daerah itu. Bahasa ini adalah salah satu bahasa daerah yang tidak memiliki aksara resmi yang bisa digunakan untuk mentransliterasikan bahasa itu ke dalam sebuah tulisan. Berbeda dengan bahasa daerah yang memiliki wilayah sebar dan jumlah penutur yang banyak, misalnya bahasa Jawa yang sudah memiliki aksara (ha, na, ca, ra, ka) untuk untuk menuliskan bahasa itu ke dalam sebuah tulisan. Dengan tidak adanya aksara yang bisa digunakan untuk menuliskan bahasa Cia-Ci, kemungkinan besar bahasa ini akan punah dan hanya menjadi sejarah saja. Hal itu pun tetap tidak menggugah para anggota Senayan atau pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada para penutur bahasa Cia-Cia untuk menggunakan aksara Indonesia sebagai aksara bahasa mereka. Padahal sudah jelas bahwa masyarakat Bau-Bau adalah bagian dari bangsa Indonesia yang berhak menggunakan aksara Indonesia sebagai aksara bahasa mereka.
Kekurangsensitifan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan bahasa daerah Cia-Cia dimanfaatkan oleh para peneliti bahasa asal Korea untuk menyebarkan aksara hangeul ke daerah Bau-Bau. Sedikit demi sedikit peneliti bahasa yang bernaung dalam lembaga riset Hunminjeongum ini memasukkan aksara hangeul beserta kebudayaan Korea ke dalam budaya dan bahasa daerah Cia-Cia. Sampai akhirnya terjadi kesepakatan antara pemerintah Kota Bau-Bau dengan pemerintah Korea untuk menggunakan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia. Penetapan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia ini pun telah dilaksanakan pada bulan Juli 2008 bertepatan dengan ritual Mataa di Kelurahan Gonda Baru, Kecamatan Sorawolio.
Lembaga riset Hunminjeongum dan pemerintah Korea pun tidak cuma-cuma mengizinkan aksara hangeul dijadikan aksara resmi bahasa Cia-Cia. Mereka memiliki alasan tersendiri di balik itu semua. Alasan yang paling utama adalah pemerintah Korea ingin menglobalisasikan aksara hangeul ke negara-negara lain di luar Korea. Pemerintah Korea pun berupaya untuk menjadikan bahasa Korea sebagai bahasa kedua yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negara Korea. Dengan dipakainya aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia, menjadikan bahasa Korea ini sebagai alat komunikasi resmi pertama di luar negara Korea sendiri. Alasan keduanya adalah para peneliti dari lembaga riset Hunminjeongum khawatir jika bahasa suku Cia-Cia yang memiliki jumlah penduduk 60.000 jiwa itu terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat. Dengan ini Korea menunjukkan bahwa aksara hangeul bisa menjadi sistem penulisan yang tepat untuk mencatat bahasa dan melestarikan budaya kelompok etnik lain yang belum atau tidak memiliki sistem penulisan sendiri. Tidak hanya itu saja, Korea juga ingin menunjukkan bahwa hangeul bisa menjadi bahasa internasional layaknya bahasa internasional lain.
Alasan lain yang melatarbelakangi sikap Korea yang baik itu adalah orang Korea tertarik dengan aneka bahasa di pulau Buton, salah satunya bahasa Cia-Cia, yang belum mempunyai aksara dan pulau Buton menyimpan banyak bahasa. Menurut peneliti bahasa asal Korea sebenarnya suku Cia-Cia bisa berbahasa dalam bahasa Indonesia tetapi mereka buta huruf sehingga tidak bisa baca tulis. Oleh karena itu, lembaga riset Hunminjeongum memberikan bimbingan kepada suku Cia-Cia untuk belajar aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa tulis mereka. Tidak tanggung-tanggung lembaga riset ini pun telah menerbitkan sebuah buku yang dapat menunjang pembelajaran aksara hangeul itu. Sejarah dan budaya suku Cia-Cia semuanya tercantum dalam buku itu. Bahkan, buku ini pun telah diterbitkan ke dalam sepuluh bahasa di antaranya Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan Bahasa Indonesia. Untuk lebih mensukseskan proyek ini lembaga riset Hunminjeongum dan pemerintah Bau-Bau memasukkan pelajaran aksara hangeul menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah di Bau-Bau.
Tidak jauh beda dengan pemerintah Korea, pemerintah Bau-Bau pun mempunyai alasan tersendiri dalam menerima aksara hangeul sebagai aksara resmi mereka. Alasan mendalam yang melatarbelakangi penerimaan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia adalah arti kata Korea dalam bahasa Cia-Cia yang bermakna darah. Sedangkan Korea dalam Hangeul berarti orang yang berjasa. Dari sini bisa dikaitkan antara darah dengan semangat perjuangan sehingga melahirkan jasa dan pejuang. Menurut Walikota Bau-Bau, Negara Korea beberapa waktu yang lalu mempunyai kehidupan yang sama dengan bangsa Indonesia. Namun, Korea telah maju pesat dan meninggalkan Indonesia dalam keterpurukan. Dengan menggunakan aksara Korea, suku Cia-Cia berharap bisa menyontoh Korea sehingga bisa mempunyai kehidupan yang lebih baik layaknya Korea.
Selain alasan pertautan kata itu, masih ada alasan lain yang melatarbelakangi penerimaan aksara hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia. Alasan-alasan itu di antaranya yaitu orang Korea sangat proaktif dalam memperkenalkan aksara hangeul kepada suku Cia-Cia. Terlebih lagi lembaga riset Hunminjeongum tetap mengajarkan bahasa Cia-Cia tetapi menggunakan aksara hangeul. Tidak hanya itu, keunggulan akasara hangeul yang telah diakui oleh masyarakat internasional dan telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya internasional inilah yang menjadikan suku Cia-Cia mau menggunakan aksara hangeul sebagai sarana untuk menuliskan bahasa mereka. Bahkan aksara hangeul ini telah mengalahkan kedudukan aksara atau huruf Indonesia sendiri dalam jiwa bangsanya sendiri.
Penggunaan aksara hangeul ini telah meluas ke seluruh sendi-sendi kegiatan masyarakat. Aksara hangeul ini selain digunakan sebagai sarana tulis menulis bahasa Cia-Cia dalam kegiatan komunikasi antarmasyarakat, melainkan juga digunakan sebagai sarana dalam penulisan nama jalan di sepanjang kota Bau-Bau.
Gambar papan jalan yang ditulis dengan aksara hangeul
Begitu besarkah pengaruh aksara hangeul terhadap bahasa Cia-Cia yang mengalahkan bahasa nasional Indonesia di wilayah nusantara Indonesia. Inilah hal kecil yang harus menjadi perhatian para pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahkan ini juga harus menjadi perhatian bagi bangsa Indonesia seluruhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar