Senin, 07 Maret 2011

Novel Bukan Pasar Malam

Kedekatan Aku Sebagai Anak Laki-Laki Pertama

dengan Keluarganya

dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer

A. Pengantar

Ada hal menarik yang dapat dikupas dari diri tokoh Aku dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer ini. Tokoh Aku memiliki kedekatan yang luar biasa dengan keluarganya terutama dengan ayah dan adik-adiknya. Sebagai anak tertua memang dia memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya. Hal ini telah dibuktikannya dengan menjadi anak dan kakak yang baik bagi ayah dan adik-adiknya.

Kedekatan tokoh Aku dengan keluarganya didasari atas rasa cinta dan kasih yang besar kepada keluarganya. Meskipun dia berada jauh dari keluarganya, dia tetap mengikuti perkembangan kehidupan kelurganya. Dia memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan kelarganya terutama dengan adik-adiknya. Bahkan dia pernah menentang keputusan ayahnya yang tidak membawa salah satu adiknya yang terserang penyakit TBC ke rumah sakit. Dia akan tetap menjadi kakak terbaik bagi adik-adiknya dan akan selalu menjadi panutan bagi semua adiknya.

Kedekatan tokoh Aku dengan keluarganya merupakan hal yang patut untuk diungkap. Keharmonisan hubungan keluarga ini terjalin dari masa kecil tokoh Aku hingga saat dewasa bahkan saat dia menjadi tawanan penjajah. Keharmonisan itu pun ditunjukkan dengan perhatian yang besar oleh tokoh Aku kepada keluarganya. Jalinan hubungan itu dijalani tokoh Aku sebagai tanggung jawab dan keharusan bahkan sudah menjadi adat istiadat yang harus selalu dipupuk sebagai akibat dari posisinya menjadi anak laki-laki tertua.

B. Anak Laki-Laki Pertama dalam Keluarga Menurut Budaya Jawa

Dalam masyarakat Jawa anak laki-laki menjadi anak yang diidam-idamkan bagi setiap keluarga. Terutama anak laki-laki sebagai anak pertama di keluarga. Mangundiningrat mengatakan bahwa kelahiran seorang anak laki-laki selalu disambut dengan suka cita bahkan dengan penuh persiapan, yang tentu berbeda dengan kelahiran seorang anak perempuan. Menurut mitologi Jawa anak laki-laki merupakan pemimpin yang akan melindugi keluarganya. Dia akan menjadi pengganti ayahnya dalam menjaga dan melindungi seluruh anggota kelurganya. Karena anak laki-laki merupakan putra mahkota dalam keluarga terutama dalam masyarakat Jawa. Anak pertama laki-laki akan menjadi panutan bagi adik-adiknya. Dialah yang akan menggantikan posisi orang tuanya terutama ayahnya ketika mereka meninggal.

Seorang anak laki-laki akan mendapatkan kesempatan pendidikan (bersekolah) yang lebih besar daripada anak perempuan. Dia juga memupunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga kehormatan orang tua dan keluarga. Jika seorang anak laki-laki berhasil maka dia akan menjadi kebanggaan bagi orang tuanya. Tidak hanya itu saja dalam hak waris pun seorang anak laki-laki juga mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada anak laki-laki.

Sebagai anak tertua, seorang anak terutama anak laki-laki memiliki tanggung jawab untuk melindungi adik-adiknya. Hal itu sudah menjadi adat istiadat atau budaya yang hidup dalam masyarakat Jawa. Dalam kerajaan pun hanya anak laki-lakilah yang dapat menggantikan posisi ayahnya sebagai raja. Yang mempunyai peluang besar untuk menjadi putra mahkota adalah anak laki-laki yang pertama. Namun, tanggung jawabnya sebagai anak tertua pun besar.

Seorang anak tertua harus bisa menjadi pelindung bagi adik-adiknya. Tidak hanya itu dia pun harus memiliki kedekatan dengan adik-adiknya. Dia harus bisa berperan sebagai seorang kakak dan juga sahabat bagi adik-adiknya. Seorang kakak pun mempunyai tugas untuk memperhatikan perkembangan adiknya. Dia juga harus bisa memberikan nasihat kepada adik-adiknya. Sebagai seorang sahabat dia bisa menjadi tempat curhat bagi adik-adiknya karena dia merupakan orang yang dipercaya bagi adik-adiknya. Sebagai seorang sahabat dia tidak bertindak sebagai orang tua ataupun kakak yang harus dihormati dan disegani, tetapi dia adalah sahabat yang bisa menjadi pendengar atas keluh kesah yang diceritakan padanya. Dia bukan orang yang memberikan keputusan atas masalah yang dihadapi adik-adiknya, tetapi dia hanya bisa memberikan alternatif-alternatif atas masalah yang sedang dihadapi adiknya.

C. Kedekatan Tokoh Aku dengan Ayahnya

Tokoh Aku sebagai anak pertama memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan ayahnya. Hal ini terbukti dari kebiasaan surat menyurat antara sang ayah dengan tokoh Aku. Bahkan ketika tokoh Aku dipenjara kebiasaan itu tetap dilakoni oleh ayah dan anak itu. Meskipun tokoh Aku pernah mengirimi surat yang berisi sesuatu yang tidak enak untuk dibaca, sang ayah pun tetap mengkhawatirkan sang anak yang tercermin dari isi surat yang dikirimkan ayah kepada tokoh Aku (hal 7). Karena hubungan harmonis itulah yang yang membuat tokoh Aku menjadi pembawa kebesaran dan kemegahan bagi ayahnya. Hal itu pun didasari karena posisi tokoh Aku sebagai anak tertua (....anak tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak.....hal 7).

Kedekatan antara tokoh Aku dengan ayahnya inilah yang membuat tokoh Aku tahu apa yang dipikirkan ayahnya. Hal itu terlihat pada halaman 33, “Aku melihat ayah tersenyum seakan-akan mengucapkan terima kasih atas pemberian pil itu.” Bahkan dalam keadaan diam pun mereka saling mengerti apa yang ada dalam otak mereka. Hal itu digambarkan penulis dalam kalimat berikut ini,

Kami berdiam diri pula. Tapi saling mengerti mengawang di tiap tempurung otak.”

Begitu dekatnya tokoh Aku dan sang ayah membuat tokoh Aku tidak dapat menyembunyikan pertengkarannya dengan istrinya. Sampai-sampai sang ayah pun mengetahui pertengkaran itu sebelum tokoh Aku menceritakan kejadiannya (hal 82).

Apa yang sudah kau pertengkarkan tadi?” tanyanya.

Aku kaget.

Dan nampak betul bahwa ayah sedang memusatkan tenaganya pada suaranya.

“Apa yang kau pertengkarkan tadi?” ulangnya.

Kedekatan seorang ayah dengan anaknya memang seharusnya terjadi. Namun, di dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi unggah-ungguh kesopanan dan rasa hormat kepada orangtua memberikan jarak antara orangtua dengan anaknya. Hal itu semua menjadi berbeda dalam novel Bukan Pasar Malam ini, tokoh Aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sang ayah, namun tetap menjunjung tinggi kesopanan dan rasa hormat kepada orangtua.

D. Kedekatan Tokoh Aku dengan Adik-Adiknya

Hubungan persaudaraan yang erat adalah sesuatu hal yang sangat membahagiakan. Apalagi tidak ada rahasia antara saudara. Hal itu akan membuat hubungan persaudaraan semakin harmonis. Tidak akan ada jarak antar saudara, begitu juga tidak ada perasaan iri antar saudara. Namun, hubungan itu akan sedikit berjarak jika dihadapkan dengan unggah-ungguh masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa orang yang lebih muda harus bersikap sopan pada orang yang lebih tua dan tidak bisa berkata semua saja pada orang yang lebih tua. Dalam hal itu akan terjadi kekakuan dalam hubungan persaudaraan. Seorang adik akan canggung untuk bermanja-manjaan dengan sang kakak. Tetapi, kesemua hal itu tidak berlaku dalam hubungan tokoh Aku dengan adik-adiknya. Tokoh Aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan semua saudara-saudaranya. Sebagai anak pertama dia menjadi tempat bermanja-manjaan bagi semua adiknya. Adik-adiknya pun tetap berlaku sopan dan hormat kepadanya.

Setelah lama tidak bertemu dengan adik-adiknya, tokoh Aku memendam kerinduan yang luar biasa kepada mereka semua. Ketika sampai di rumah, tokoh Aku langsung meluapkan kerinduannya dengan bercengkerama bersama adik-adiknya (hal 24).

Kami duduk-duduk di ruang depan. Adik-adik yang belum dewasa, yang nampak masih liar itu kini mulai mendekati. Dan kami mengobrol panjang tentang Jakarta, tentang Semarang, dan tentang mobil.”

Saat dia tidak melihat salah satu adiknya yang sangat dia cintai dan kurus pikirannya pun menjadi tidak tenang (hal 26, “Dan dalam kepalaku terbayang wajah adikku—dan terbayang dia sudah kurus. Aku tahu, dia sedang sakit.”). Adik yang paling dia sayangi dan yang menyebabkan dia berkata tidak enak kepada ayahnya itu semakin terbayang di pikirannya (hal 27, “...adikku yang ketiga itu terbayang lagi dalam kepalaku. Karena dia jualah aku menulis surat untuk ayah—surat yang pedas karena membiarkan dia sakit. Tapi waktu itu aku masih dipenjara.”).

Tidak hanya dekat dengan tokoh Aku saja, sang adik pun dibuat dekat dengan kakak ipar—istri tokoh Aku. Tidak ada kecanggungan antara sang adik dengan sang istri (hal 27, “ Aku lihat keenam adikku yang sedang merubung kami—aku dan istriku—mulai bebas dari suasana yang kesungguh-sungguhan.”).

Kedekatannya dengan adiknya yang ketiga membuat dia ingin segera bertemu dengan adiknya. Pertemuan itu tidak bisa ditunda lagi. Saat pertemuan pertama antara kakak dan adik yang saling mengasihi terjadi sebuah keharuan yang mungkin bisa membuat menangis orang yang melihatnya. Kasih-kasihan dan curhat tidak pelak lagi terjadi (hal 28).

“Kurangkul dia. Dia menangis dan aku pun menangis............Sekali lagi aku menangis. Sekali lagi dia menangis.”

Tokoh Aku selalu bisa menenangkan hati adiknya yang sedang sedih dan sakit itu. Dia mengucapkan kata-kata yang bisa memberikan semangat hidup pada sang adik (hal 29).

“Engkau masih muda, adikku, dan engkau masih ada harapan punya anak lagi.” Kataku menghibur.

Perhatian dan kasih sayangnya yang sangat besar itu tercurahkan pada malam itu (hal 29).

Kuperbaiki letak selimutnya itu. Kucium adikku itu pada pipinya. Berkata:

“Tidurlah.”

Ditariknya lengannya dari matanya. Ia sudah tenang sekarang. Pelahan-lahan ia mengatupkan tapuk matanya. Sekali lagi kucium pipinya yang dulu montok dan kini kering itu. Kemudian kutinggalkan kamar itu.

Tokoh Aku mempunyai kedekatan dengan semua adik-adiknya bahkan dengan adiknya yang paling kecil, meskipun mereka sudah lama sekali tidak bertemu. Saat tokoh Aku masih di rumah dulu, adiknya yang ketujuh ini masih kecil, tetapi kedekatan antara kakak dan adik itu tetap terjalin di antara mereka (hal 37).

Malam itu adikku yang ketujuh itu masih juga menangis—tiga jam sudah....... Pelahan aku bangun dari tempat dudukku dan menghampirinya.....Kurangkul dia dan kuciumi pada pipinya yang basah. .....Ia hanya menggeleng dan menghapus air matanya di pangkuanku itu.

Tokoh Aku selalu bisa menguatkan hati adik-adiknya yang sedih maupun yang dibakar rasa emosi atas sesuatu, meskipun dia sendiri merasakan perasaan yang sama dengan adikknya (hal 69).

“Bukankah semua itu sudah terjadi, Adikku? Dan semua yang sudah terjadi tidak bisa diulangi lagi.”

“Tapi aku tak rela, Mas. Aku tak rela.”

“Engkau harus merelakan semua hal yang sudah terjadi, Adikku,” kataku.

Dan di kala itu juga aku pun merasa tak rela nenekku mendapat perawatan yang kurang cukup pada waktu menghadapi mautnya.

Kedekatannya dengan sang adiklah yang membuat sang adik juga ingin ikut merasakan apa yang dirasakan sang kakak. Tanggung jawab sang kakank pun dirasakan sebagai tanggung jawab sang adik pula (hal 70—71).

“Malam ini aku takkan tidur seperti engkau untuk kesehatan ayah.”.....

“Engkau bingung, Mas. Aku lihat engkau selalu bingung dan gugup sejak beberapa hari pulang di Blora ini.”

“Ya, Adikku, sesungguhnya begitu. Tapi engkau tak perlu memikirkan diriku.”

E. Penutup

Hubungan dalam sebuah keluarga Jawa memang sangat harmonis. Tidak ada rahasia di antara anggota keluarga. Namun, semuanya masih dibatasi oleh adat istiadat dan budaya Jawa serta unggah-ungguh yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Hal inilah yang akan memberikan jarak di antara anggota keluarga. Orang yang lebih muda akan sangat menghormati orang yang lebih tua, sehingga tercipt suatu kesungkanan seorang adik kepada sang kakak. Inilah yang menjadikan seorang adik takut bersikap terbuka kepada kakanya yang seharusnya berposisi sebagai pengganti orang tuanya.

Namun, semua itu tidak terjadi dalam novel Bukan Pasar Malam ini. Tokoh Aku sebagai seorang kakak tertua memiliki kedekatan dengan adik-adiknya. Dia menjadi tempat bermanja-manjaan bagi semua adikknya, dia pun menjadi tempat berkeluh kesah bagi sang adik. Rasa hormat sang adik pun tetap ada untuk sang kakak.

Begitu juga hubungannya dengan sang ayah pun terjalin sangat harmonis. Ayahnya tahu berbagai hal yang dirasakan sang anak. Hubungan keluarga ini terjalin sangat harmonis. Sang anak memiliki kedekatan dengan sang ayah, tetapi tetap ada rasa hormat dari sanga anak kepada sang ayah layaknya keluarga Jawa lainnya. Mereka tetap menjunjung unggah-ungguh di dalam hubungan kekeluargaan mereka.

Daftar Pustaka

http://books.google.co.id/books?id=d8O_c9luuM0C&pg=PT49&lpg=PT49&dq=anak+laki-laki+pertama+dalam+masyarakat+Jawa&source=bl&ots (diakses pada tanggal 20 November 2010).

Toer, Pramoedya Ananta. 2007. Bukan Pasar Malam. Jakarta: Lentera Dipantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar